Selasa, 06 Desember 2011


Suara Emas Sang Pengudara
Surya Adhi Nugroho

Judul novel            : The Announcer
Penulis                   : Ibnu Novel Hafidz
Penerbit                 : NAVILA
Cetakan                 : 2010
Tebal                     : 298 halaman




Menulis bukanlah hal yang asing lagi bagi laki-laki kelahiran Pekalongan, 26 Juni 1972 ini. Di tengah kesibukannya sebagai entrepreneur kreatif, Ibnu Novel Hafidz mampu merampungkan beberapa karyanya seperti buku Mengulik Bisnis Event Organizer, novel berjudul Konser Cinta, antologi puisi Selendang Jamprang, dan masih banyak lagi. Di antara karya-karyanya tersebut, novel berjudul The Announcer  tergolong sebagai salah satu karya apik yang berhasil ia tulis setelah berkecimpung di dunia radio selama sepuluh tahun. Dengan meracik imajinasinya, ia mampu memukau para pembaca melalui sebuah novel fiksi berbobot ini.
Novel The Annuoncer bercerita tentang lika-liku kehidupan seorang penyiar radio. Realita sang pengudara yang dianugerahi ‘setangkai bunga elok, tetapi berduri’. Ia memang mempunyai suara yang lembut dan berwibawa seakan memiliki daya pikat kuat bagi si pendengar. Melalui pemancar radio, kelembutan itu menggelora hingga terperangkap di dalam gendang telinga. Namun fatalnya, daya pikat yang tercipta terlalu manjur untuk memekakan nafsu syahwat. Seperti aurat yang terbuka, anugerah indah itu justru menimbulkan masalah.
Kisah The Announcer dibuka secara gamblang dengan berita bahagia yang berselimut kepedihan. Di sinilah sang tokoh utama, Bara, harus dihadapkan pada dua fakta yang amat kontras perbedaannya. Di satu sisi, ia kedatangan tamu dari perut seorang ‘bidadari’, yakni sepasang makhluk mungil yang cantik jelita. Namun, di sisi lain, ia harus kehilangan sosok perempuan berparas bidadari itu. Sang belahan jiwa yang tercipta dari tulang rusuknya. Dialah Karina, istri Bara.
Cerita berlanjut pada konflik-konflik komplikatif yang disusun berdasarkan rentetan peristiwa logis dengan detail yang terhubung satu sama lain. Hingga pada suatu kisah, Bara yang notabene merupakan penyiar radio mendapatkan amanat dari Habib Husein, guru spiritualnya, untuk mengembalikan kejayaan radio dakwah Suara Suhada di Yogyakarta. Alhasil, ia pun berlalu dari Pekalongan menuju ke Yogyakarta. Menanggalkan segala urusan lain untuk satu tujuan: menggemakan dakwah Islam.
Untuk menambah ketertarikan para pembacanya, Hafidz juga membumbui karyanya dengan cerita cinta lucu. Kisah asmara ini terjadi pada dua sejoli yang kerjaannya malu-malu kucing. Baik Bara maupun Aisyah, keduanya memang saling menyembunyikan rasa yang sebenarnya sangat mudah untuk diterka. Namun, kisah ini justru menambah keunikan bagi The Announcer karena dikemas dalam wadah islami dengan batas-batas lugas. Tidak seperti cerita-cerita cinta lain yang alurnya terkesan monoton.
Di akhir cerita, Ibnu Novel Hafidz memunculkan efek kejut kepada para pembaca melalui sebuah ‘sengatan listrik’. Ia menutup The Announcer dengan sebaris keputusan yang terlontar dari mulut Bara. Saat itulah sang pelaku utama memutuskan untuk berpuasa bicara selamanya. Hanya kepada keluarga dan sahabatnya saja ia mau menggetarkan pita suaranya. “Bara merasa berdosa, ia menganggap selama ini telah mempertontonkan suaranya, memamerkan auratnya. Dan dari auratnya itu ia justru mencari rizki.” (hlm. 286).
Novel ini sangat edukatif untuk disimak. Keteguhan bulat yang tercermin dalam diri Bara memberikan pelajaran ilustratif bagi pembacanya. Hal ini tergambar jelas secara kasat mata pada sejumlah kalimat di beberapa bagian. “Bara kagum dengan pemikiran tiga pendiri radio itu, yang memilih lokasi di Prawirotaman sebagai studio radio, dan dia bertekad harus mengembalikan nama besar Radio Suara Suhada.” (hlm.69). Selain itu, penyampaian nilai-nilai agama yang juga menghiasi wajah novel ini menjadi peranan penting dalam mengiringi para pembaca menyikapi kehidupan nyata. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan beberapa hadits mampu bersusun rapi mengikuti alur sang penulis. “Laa ilaaha illa anta subhaanaka inni kuntu minazh zhaalimiin. Aisyah berulangkali melafalkan doa, memohon ampun atas kekhilafannya. Doa Nabi Yunus saat ditelan ikan hiu itu sangat mendamaikan hatinya.” (hlm.67).
Namun, buku ini tidaklah pas bila dibaca oleh kalangan anak-anak karena di dalamnya ada beberapa peristiwa yang ditorehkan dengan kata-kata tidak senonoh. “Betapa terkejutnya Bara melihat seorang gadis tengah telanjang bermasturbasi sambil mendengarkan Bara siaran, mulutnya berdesis menyebut nama Bara.” (hlm. 279). Tentu saja, adegan bersensor ini tak pelak hanya akan memunculkan tanda tanya besar bagi anak-anak, sebagai pembacanya.
Menjurus lebih dalam lagi, novel The Announcer juga banyak memuat kata-kata asing, terutama berbahasa Arab dan Inggris, yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian di antaranya dituliskan tanpa dilengkapi dengan footnote sehingga menjadi sederet ‘missing link’ karena maksudnya tidak diketahui pembaca. Missing link tersebut antara lain: iddah, manhaj, kaffah, tagline, wearpack, dan sebagainya.
Terlepas dari lubang-lubang kecil tersebut, bagaimana pun juga Ibnu Hafidz telah menciptakan mahakarya yang inspiratif dan kreatif. Penyampaian konflik yang diusung secara mendetail terkesan ringan dan mengena. Rentetan peristiwa yang runtut dan tak terduga juga memberikan konstribusi tersendiri bagi novel ini sehingga mampu membuat para pembaca enggan beralih untuk menghentikan bacaannya. Melalui novel ini, kita bisa belajar bahwa kehidupan di dunia tak ayalnya seperti sebuah pelangi yang tak mungkin hitam putih.






0 komentar :

Posting Komentar